2009 :: Home :: Buku tamu :: Webmail :: Sitemap :: The Team ::
Takalar Ta
Berita Daerah
DPRD Takalar
Studi Banding
Wirausaha
Ekonomi Syariah
Pustaka
Cuci Otak
Info Pasar
Opini
Demo
Beasiswa
Lowongan Kerja
Jaringan Web
Pengaduan
Takalar Angka
Takalar Peta

Contact Us
Redaksi
Kota Takalar

Email
[email protected]

Telepon (Hunting)
Irsyadi 0812 4280001

OPINI PUBLIK
Count: 52 Opini Tambah Opini
MEMBINCANG ELECTORAL THRESHOLD
OKTA - [email protected] - Selasa, 23 Sep 2008
Konteks hari ini, ada dua hal yang terlihat kontras dalam perpolitikan di Tanah Air menjelang pemilu 2009. Di satu sisi, yakni maraknya pendirian partai politik baru, semisal Partai GERINDRA dan Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura).
Di sisi lain, jika RUU Pemilu sebagai satu bagian dari RUU Bidang Politik jadi disahkan. Membuat semakin ketatnya persyaratan bagi partai politik untuk mengikuti pemilu berikutnya karena dinaikkannya electoral threshold (?ambang minimal perolehan suara dalam pemilu?) dari 3 persen menjadi 5 persen.
Perlu Redefinisi
Dengan menaikkan electoral threshold dianggap oleh sebagian besar kalangan sebagai salah satu jalan terbaik menuju penyederhanaan partai politik. Sebagai bagian dari ?rekayasa kelembagaan? (institutional engineering), menaikkan persentase electoral threshold adalah hal yang lazim diterapkan di negara-negara demokrasi di dunia. Seperti ; Jerman, Rusia, dan Selandia Baru juga menerapkan electoral threshold sebesar 5 persen (IDEA, 2001).
Hanya saja, dan ini banyak dipertanyakan oleh ahli politik, definisi electoral threshold yang ada di Tanah Air sangat berbeda dengan definisi electoral threshold yang baku digunakan dan patut digaris bawahi. Definisi electoral threshold yang dipahami di Tanah Air, yakni ?sebagai prasyarat minimal perolehan suara untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya?. Sedangkan definisi electoral threshold yang ada di luar negeri, yakni ?sebagai prasyarat suara minimal bagi partai politik untuk masuk di parlemen?.
Di Jerman, misalnya, sebagai negara yang pertama kali menerapkan kebijakan ini. Awalnya, kebijakan ini dimaksudkan untuk membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis dan untuk menghentikan partai politik kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan di Bundestag, parlemen Jerman. Katakanlah electoral threshold-nya 5 persen, maka partai politik yang gagal memperoleh suara sebesar 5 persen tidak akan diperkenankan masuk di parlemen.
Di sinilah perbedaan sangat mendasar dari definisi electoral threshold yang ada di Jerman dan yang ada di Indonesia. Di Indonesia, partai politik yang tidak mampu mencapai ?ambang minimal perolehan suara dalam pemilu? harus bubar atau bergabung dengan partai politik lainnya untuk ikut pemilu berikutnya. Sedangkan di Jerman, partai politik tersebut hanya dilarang masuk parlemen dan tidak mesti bubar sehingga tetap bisa ikut pemilu berikutnya.
Seandainya yang dipraktekkan adalah electoral threshold seperti yang baku digunakan di luar negeri. Partai politik seperti PBB, PBR, PDS, dan partai politik kecil lainnya yang ikut pemilu 2004 mestinya tidak punya perwakilan di DPR karena gagal mencapai electoral threshold 3 persen. Tetapi untuk pemilu yang akan datang, yakni pemilu 2009, mereka tidak harus berganti nama atau membentuk partai politik baru hanya untuk tetap ikut pemilu.
Definisi baku ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi di mana partai politik sebagai pilar utamanya. Pemerintahan demokrasi sama sekali dilarang untuk membubarkan partai politik terkecuali bahwa ia telah melakukan tindakan yang dianggap subversif, dan atas persetujuan pengadilan. Seperti misalnya, dilarangnya partai politik berideologi fasis hidup kembali di Jerman dan juga di Tanah Air dengan dilarangnya mendirikan partai politik berideologi komunis.
Demikian dikatakan, partai politik itu bertumbuh dari bawah dan mengalami proses induksi. Berhasil tidaknya partai politik dalam perkembangannya tidaklah ditentukan dari atas melainkan dari bawah, dari masyarakat pemilih itu sendiri. Jadi partai politik yang gagal memenuhi electoral threshold mestinya tetap bisa hidup. Ia hanya dilarang masuk parlemen karena pemerintahan butuh efektifitas.
Logika Rente
Redefinisi electoral threshold dapat diambil sebagai jalan ?terbaik? dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi dan juga tidak melanggar Pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, untuk menuju penyederhanaan partai politik di Tanah Air. Meski ini hanya satu pendekatan, tetapi secara substansial memungkinkan untuk mengubah cara berpikir para elit politik. Dengan redefinisi ini, partai politik yang tidak berhasil mencapai electoral threshold tidak akan mendapatkan kursi kekuasaan. Jika dikaitkan dengan dana bantuan pemerintah untuk partai politik, dikatakan, hanya partai politik yang mendapatkan kursi saja yang akan diberi bantuan. Nah! Seandainya ini menjadi kenyataan, elit politik pastinya berpikir serius sebelum memutuskan untuk mendirikan partai politik baru di setiap perhelatan pemilu.
Satu penjelasan teoritis tentang kemunculan partai politik baru dikemukakan oleh Gary W. Cox dalam sebuah teorinya tentang ?strategic entry?. Di dalam teorinya ini, Cox mengatakan bahwa munculnya partai politik baru itu pada dasarnya merupakan keputusan elit politik untuk memasuki arena pemilihan sebagai kontestan baru.
Keputusan itu didasarkan atas tiga pertimbangan: (1) biaya untuk memasuki arena pemilu (cost of entry); (2) keuntungan-keuntungan yang didapat manakala duduk di dalam kekuasaan (benefits of office), dan; (3) adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan dari pemilih (probably of receiving electoral support).
Dalam penjelasannya, dikatakan, semakin kecil biaya yang timbul dari pembentukan partai politik baru, ditambah adanya keuntungan yang cukup besar di dalam kekuasaan, serta masih terbukanya kemungkinan memperoleh dukungan dari para pemilih, semakin besar bagi terbukanya celah bagi pembentukan partai politik baru.
Demikian pula sebaliknya, ketika biaya memasuki arena pemilu dipandang cukup besar, sementara itu keuntungan-keuntungan yang didapat ketika berkuasa tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, serta masih belum jelasnya dukungan dari para pemilih, kemungkinan akan cenderung membuat para elit politik mengurungkan niatnya mendirikan partai politik baru (Marijan, 2006).
Dikaitkan dengan teori Cox tentang ?strategic entry?. Fenomena maraknya pendirian partai politik baru di Tanah Air menjelang pemilu 2009, tidak lain karena kuatnya orientasi rente menggelayut di kepala para elit politik. Iming-iming akan keuntungan yang didapat manakala duduk di dalam kekuasaan menjadi lebih dominan. Ketimbang memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan ketika memasuki arena pemilu, dan apakah ada pemilih yang akan memilih dia dan partai politiknya di bilik suara.
Dengan duduk di dalam kekuasaan, berapa banyak keuntungan yang telah didapatkan para elit politik. Mulai dari penghasilan perbulan yang jumlahnya jutaan rupiah, plus berbagai tunjangan dan fasilitas sebagai anggota dewan terhormat, sekaligus untuk peningkatan kinerja, uang reses dan studi banding, dan pendapatan ekstra lainnya, semisal menjadi broker/calo proyek sampai produk kebijakan. Untuk yang terakhir ini, sudah lama disinyalir tidak sekedar ?isapan jempol?. Dengan semua fakta ini, siapa yang tidak tertarik mendirikan partai politik baru?





More Opini
Web Takalar
Caesarleo
Salam Demokrasi !!!
Pusat Kajian Demokrasi Se
MEMBINCANG ELECTORAL THRESHOLD
OKTA
jangan ada intimidasi
Dg tarang
Sidak Kades oleh Bapak Bupati
Daeng Baso
budaya belajar di Sydney
Daeng Sija
Kabar dari Philipina
Daeng Gajang
Kurang Gigitan....
alanobita
Koran Takalar? Bagus Juga tuh....
daeng Nuntung
pengen....
A.R.Dg.Parani
Untitled Document
    Copyright © 2007 by Team Info Takalar dan Yayasan Al-Muttahid. All Right Reserved
  Design and Develop by Irsyadi Siradjuddin
  Hosting MWN
 

Warning: mysql_free_result(): 11 is not a valid MySQL result resource in /home/sloki/user/t88784/sites/infotakalar.com/www/opinidtl.php on line 271