2008 :: Home :: Login :: Buku tamu :: Webmail :: Sitemap :: The Team ::
Takalar Ta
Berita Daerah
DPRD Takalar
Studi Banding
Wirausaha
Ekonomi Syariah
Pustaka
Cuci Otak
Info Pasar
Opini
Demo
Beasiswa
Lowongan Kerja
Jaringan Web
Pengaduan
Takalar Angka
Takalar Peta

Contact Us
Redaksi
Kota Takalar

Email
[email protected]

Telepon (Hunting)
Irsyadi 0812 4280001

OPINI PUBLIK
Count: 46 Opini Tambah Opini
DIKOTOMI WAKIL PARPOL VS WAKIL RAKYAT
OKTA WG - [email protected] - Senin,�01 Oct 2007
Tulisan ini berangkat dari asumsi dasar bahwa demokrasi langsung tidak mungkin lagi diadakan �sebagaimana cita-cita Rousseau� karena realitas politik modern tidak memungkinkannya. Ia kemudian digantikan dengan demokrasi perwakilan �sebuah demokrasi paling riil yang pernah ada� di mana partai sebagai pijakan utamanya. Asumsi dasar ini lantas menjadi penjelas bahwa dikotomi wakil parpol vs wakil rakyat tidak mesti ada. Tetapi mengapa dikotomi seperti itu timbul di masyarakat? Adanya dikotomi wakil parpol vs wakil rakyat tidak bisa dilepaskan dari dua hal sekaligus. Pertama, parpol gagal menjadi �simbol� perjuangan aspirasi rakyat di parlemen (lembaga legislatif). Kedua, di saat yang sama, parpol justru sangat percaya diri untuk menjadi �simbol� perjuangan aspirasi rakyat tersebut. Dengan logika: �mana ada wakil rakyat tanpa wakil parpol�. Dari kedua hal di atas, maka perlu dibedakan. Pertama, pemaknaan wakil parpol sekaligus juga sebagai wakil rakyat, di mana tidak ada dikotomi di antara keduanya. Kedua, kegagalan wakil parpol untuk mengejawantahkan diri sebagai wakil rakyat, melalui serangkaian tindakan dan perilakunya di parlemen. MISKONSEPSI....????? Kita bisa menyebut pendikotomian wakil parpol vs wakil rakyat sebagai sebuah kesalahan konsepsi dalam memaknai perjalanan panjang demokrasi, yang rentang waktunya telah berusia 2500 tahun. Memang secara etimologis, demokrasi modern tidak lagi sama artinya dengan demokrasi masa Athena Kuno. Tetapi semangat (spirit) perjuangannya akan cita-cita �kedaulatan rakyat� tidak lantas hilang. Itu dimulai (kembali) ketika parlemen modern pertama di dunia terbentuk di Inggris, di mana rakyat mendapatkan satu posisi penting dalam struktur parlemen yang disebut House of Commons. �Rumah� rakyat ini merupakan hasil perjuangan dan negosiasi dengan dua penguasa pada masa itu. Yakni, Raja Inggris di satu sisi, dan para Lord di sisi lain, yang sebelumnya telah juga menempati satu struktur dalam parlemen yang disebut House of Lords. Berbeda dengan sifat keanggotaan House of Lords yang permanen (berlaku seumur hidup), House of Commons hanya bersifat sementara. Untuk bisa (kembali) menjadi wakil di House of Commons, mereka harus dipilih oleh rakyat dari daerah masing-masing (dikenal dengan istilah �daerah pemilihan�). Para wakil ini berkampanye melalui orang-orangnya agar bisa terpilih (kembali) masuk parlemen. Secara evolusi, para wakil yang seide (sehaluan) lantas menyatukan orang-orangnya dalam satu �panitia� yang dibentuk untuk mengkampanyekan mereka di daerah masing-masing agar (tetap) dapat terpilih menjadi anggota parlemen (Saragih, 1988). Evolusi ini melahirkan dua istrumen demokrasi modern. Pertama, parpol sebagai penyatuan orang-orang yang seide (sehaluan) dalam satu �panitia� dan yang berkampanye untuk para wakilnya. Kedua, sistem pemilu distrik sebagai sistem pemilu pertama yang bekerja sebagai mekanisme dalam mengatur seseorang menjadi wakil dari suatu daerah pemilihan. Seiring perjalanan politik negara-negara demokrasi, dirasakan adanya kekurangan dari penerapan sistem pemilu distrik. Di saat yang sama, dirasakan juga perlunya mendirikan parpol baru yang tujuannya adalah menampung aspirasi rakyat yang �lepas� dari dua parpol yang ada. Untuk itu, diperkenalkanlah sistem multi-partai dengan perwakilan berimbang sebagai sistem pemilunya. Demikian praktek demokrasi perwakilan di negara-negara demokrasi bisa berjalan dan sangat berkesesuaian dengan aspirasi rakyat. Secara meyakinkan parpol lebih bertanggung jawab dibandingkan dugaan umum selama ini. Dan bahwa sistem kepartaian demokratis ternyata bekerja jauh lebih baik dari pada yang selama ini diduga (Klingemann, dkk, 2000). Dari kilasan sejarah ini dapat dikatakan bahwa parpol �pada dasarnya� lahir karena tuntutan sejarah yang tak terelakkan, parpol lahir untuk mewakili rakyat. Dan perjuangan aspirasi rakyat dalam demokrasi seutuhnya bisa dilaksanakan oleh parpol. Cornelis Lay dalam suatu wawancara dengan Kompas (26/08/2006), mengatakan, premis besarnya adalah �... demokrasi dan penciptaan kemakmuran ekonomi yang lebih langgeng, harmoni sistem dan sosial yang lebih rapi tidak pernah tidak melibatkan parpol�. REALITAS KAMPUNG KITA..... Kita tiba pada suatu keadaan di mana wakil parpol (tentu saja di Takalar) gagal untuk mengejawantahkan diri sebagai wakil rakyat, melalui serangkaian tindakan dan perilakunya di parlemen. Banyak hal yang bisa dianggap sebagai penyebab kegagalan tersebut. Satu di antaranya (mungkin ini bukan yang terpenting) adalah orientasi dari wakil parpol untuk menjadi wakil rakyat. Apakah berorientasi pengabdian atau kesempatan untuk memperkaya diri? Jika orientasinya adalah untuk memperkaya diri, maka yang berlaku kemudian adalah �kalkulasi� dagang. Mengeluarkan ongkos sedikit untuk mengharapkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Ongkos dimaksud tentunya adalah dengan �membeli� nomor urut calon di internal parpol. Dan keuntungan yang diharapkan diraih jika terpilih adalah tentunya beragam fasilitas sebagai wakil rakyat dan terpentingnya adalah prestise. Selentingan kabar mengatakan bahwa banyak calon wakil rakyat yang berani agunan di bank untuk mendanai pencalonannya di internal parpol pada pemilu legislatif 2004 lalu. Kabar seperti ini tentu saja menjadi penanda bahwa ke depan jika mereka terpilih menjadi wakil rakyat, maka program pertama yang harus diselesaikan adalah bagaimana kembali modal. Menghakimi wakil parpol yang gagal untuk mengejawantahkan diri sebagai wakil rakyat dengan cara me-recall mereka misalnya, seperti pemberitaan di media massa bahwa beberapa parpol telah mengevaluasi kader-kadernya yang ada di parlemen, di satu sisi amat tepat. Dan karena itu harus didukung sepanjang prosedur dan mekanismenya demokratis. Tetapi di sisi lain, hal itu dianggap kurang fair dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya mendasar. Kenapa? Karena parpol juga yang membuat para wakilnya di parlemen bertindak dan berperilaku jauh dari harapan rakyat. Belum apa-apa, mereka sudah dikenai charge/argo untuk pengusulan nomor urut calon di internal parpol. Di titik inilah persoalan mendasar itu dimulai, yakni di parpol itu sendiri. Bagaimana wakil-wakilnya di parlemen bekerja atas nama rakyat, dan karenanya layak disebut wakil rakyat, itu tidak bisa dilepaskan dari persepsi parpol terhadap spirit demokrasi, pemaknaannya terhadap politik dan kekuasaan, dan terpenting lagi arti representasi dalam demokrasi. Jika yang disebutkan ini tidak mampu dijelaskan, maka seberapa seringnya pun parpol mengevaluasi dan bahkan me-recall wakilnya di parlemen. Tindakan dan perilaku yang jauh dari harapan rakyat akan selalu berulang. Dan akhirnya, akan menjadi semacam �lingkaran setan�. Itu artinya, dikotomi wakil parpol vs wakil rakyat dianggap benar-benar ada dalam memori kolektif masyarakat.





More Opini
Kabar dari Philipina
Daeng Gajang
Kurang Gigitan....
alanobita
Koran Takalar? Bagus Juga tuh....
daeng Nuntung
pengen....
A.R.Dg.Parani
Selamat Buat Bupati Takalar Terpilih
Daeng Gajang
Ayo ramal Bupati Takalar terpilih
Daeng Gajang
DEMOKRASI DI KAMPUNGKU
OKTA WG
DIKOTOMI WAKIL PARPOL VS WAKIL RAKYAT
OKTA WG
Tikungan pertama atau tikungan terakhir?
Daeng Gajang
Takalar butuh bupati cerdas dan enerjik
Daeng Gajang
Untitled Document
    Copyright © 2007 by Team Info Takalar dan Yayasan Al-Muttahid. All Right Reserved
  Design and Develop by Irsyadi Siradjuddin
 

Warning: mysql_free_result(): 12 is not a valid MySQL result resource in /home/inforcom/public_html/opinidtl.php on line 271