2008 :: Home :: Login :: Buku tamu :: Webmail :: Sitemap :: The Team ::
Takalar Ta
Berita Daerah
DPRD Takalar
Studi Banding
Wirausaha
Ekonomi Syariah
Pustaka
Cuci Otak
Info Pasar
Opini
Demo
Beasiswa
Lowongan Kerja
Jaringan Web
Pengaduan
Takalar Angka
Takalar Peta

Contact Us
Redaksi
Kota Takalar

Email
[email protected]

Telepon (Hunting)
Irsyadi 0812 4280001

OPINI PUBLIK
Count: 46 Opini Tambah Opini
DEMOKRASI DI KAMPUNGKU
OKTA WG - [email protected] - Senin,�01 Oct 2007
Pernahkah dalam sehari saja kita tidak memikirkan politik? Sebagai �mahluk politik� (zoon politicon) kata Aristoteles di masa Athena Kuno, pertanyaan ini nampak menyalahi esensi politik itu sendiri sebagai �kegiatan warga negara�. Hal mana untuk membedakannya dengan satu jenis warga negara yang disebut �idiot�. Sebuah istilah untuk mereka yang �hanyut� dalam kehidupan pribadi dan tidak mau terlibat dalam aktivitas kewarganegaraan, seperti ikut dalam rapat-rapat kota dan pemberian suara (voting). Berdasar ini sesungguhnya, arti dan manifestasi dari politik itu bersifat positif dan jauh dari segala keburukan-keburukan yang mungkin ditimbulkan. Lalu mengapa pertanyaan filosofis di atas harus diajukan? Karena realitas yang ada sekarang ini memperlihatkan kebalikan dari apa yang menjadi keyakinan warga negara Athena Kuno. Aktivitas politik adalah manifestasi terbaik dari potensi-potensi tertinggi warga negara (Andrain, 1992). Sebagai konsekuensi politik modern, aktivitas politik warga negara tidak lagi dilakukan secara individu sebagaimana di masa Athena Kuno. Melainkan telah digantikan dengan dimunculkannya partai politik (parpol) sebagai institusi, tempat warga negara melaksanakan dan mempercayakan aktivitas politiknya. Jadi kehadiran parpol dalam politik modern bukan untuk menghilangkan (sama sekali) aktivitas politik warga negara. Melainkan �karena situasi dunia yang sudah berubah� sebagai pengawal aspirasi politik warga negara dalam bentuk aggregasi dan artikulasi kepentingan. Pada titik ini dapat dilihat bekerjanya sistem demokrasi, yakni dilihat dari apakah parpol menjalankan apa yang menjadi jati dirinya ini. Dari konsekuensi politik modern dapat diambil hikmah betapa pentingnya arti kehadiran parpol tidak saja bagi demokrasi, melainkan terpentingnya adalah tidak terputusnya aktivitas politik warga negara. Parpol lantas menjadi arena dan muara bagi manifestasi terbaik dari potensi-potensi tertinggi warga negara, sebagaimana di masa Athena Kuno. Benarkah demikian? Apakah logika linear ini berlaku dalam lakon politik Indonesia, di mana parpol menjadi arena dan muara bagi manifestasi terbaik dari potensi-potensi tertinggi warga negara dan karenanya membuat sistem demokrasi itu bekerja? Apakah aspirasi politik warga negara dalam bentuk aggregasi dan artikulasi kepentingan telah menjadi jati diri parpol? POLITIK RENTE Dalam lakon politik Indonesia sekarang ini. Politik dimaknai tidak lebih sebagai ajang mencari kekuasaan. Karena orientasi deterministik ini, maka segala cara akan dilakukan semata untuk kekuasaan itu sendiri. Dan bukannya untuk membuat tindakan dan kebijakan (politik dalam arti sesungguhnya), yang dengan tindakan dan kebijakannya itu akan membawa negara-bangsa Indonesia keluar dari terpaan krisis multi-dimensional. Celakanya, kekuasaan yang terlanjur didapatkan itu justru digunakan untuk mengumpulkan materi (politics of rent). Parpol tidak ubahnya seperti perusahaan dagang yang mencari rente dalam negara. Semua fasilitas yang ada dimaknai sebagai kesempatan untuk memperkaya diri (Romli, dkk, 2002). Logikanya: �apa yang bisa dimanfaatkan�. Tengoklah apa yang menjadi perilaku parpol dan para aktivisnya akhir-akhir ini, yang seakan �membenarkan� pernyataan Bung Hatta di tahun 1956 bahwa oligarki parpol melihat negara sebagai lahan jarahan (Imawan, 2004). Seperti misalnya, permintaan uang pesangon tanda jasa pengabdian (SMERU, 2003), tuntutan untuk menaikkan anggaran reses anggota dewan ke daerah yang, katanya, tidak mencukupi, dan pemberian sumbangan operasional bagi aktivitas parpol dalam bentuk penggantian uang kursi bagi parpol yang mendapatkan kursi di dewan. Itu belum termasuk sinyalemen kasus percaloan dana bantuan pasca-bencana yang melibatkan beberapa anggota dewan dari parpol besar dan fenomena baru dalam politik lokal, di mana keharusan seorang kandidat untuk membayar �gizi� politik jika ingin maju dalam pilkada (politik �dagang pintu�). Bukankah semua contoh ini sinonim dengan pernyataan Bung Hatta di atas? Menilik perilaku parpol dan para aktivisnya yang berorientasi rente. Harapan agar mereka mampu menjaga jati dirinya sebagai �jantung� demokrasi, dengan menjadi pengawal aspirasi politik warga negara, mulai dipertanyakan. Karena, ternyata, begitu banyak aspirasi politik warga negara yang terlewatkan oleh parpol dan para aktivisnya. Kesalahan sedari awal memaknai kekuasaan dalam politik menjadi penyebab gagalnya parpol menjadi arena dan muara bagi manifestasi terbaik dari potensi-potensi tertinggi warga negara. Banyaknya bertumbuhan parpol menjelang pemilu, bak �cendawan di musim penghujan�, dapatlah menjadi contohnya. Betapa potensi-potensi tertinggi dari warga negara dalam wujud aktivis parpol, tidak termanifestasi secara baik. Banyak aktivis yang akhirnya juga mendirikan parpol karena merasa tersingkir atau disingkirkan dari arena dan muara pergumulan potensi-potensi tertinggi mereka sebagai warga negara di dalam partainya. Ironisnya, karena parpol yang didirikan pun secara ideologi tetap sama dengan parpol sebelumnya. Ini makin memperjelas orientasi terhadap rente telah demikian �membunuh� makna kekuasaan dalam politik. Penyingkiran terhadap aktivis di dalam parpol tidak bisa dilepaskan dari asumsi bahwa kesemua itu akibat perebutan jabatan dalam struktur partai. Bukan semata sebagai kesalahan bersifat indisipliner, sebagaimana yang sering menjadi alasan terjadinya pemecatan. Di tengah kelemahan sangat mendasar parpol dalam mengelola kekuasaan yang kebanyakannya berujung pada lahirnya konflik di internal mereka. Masihkah kita menyebut parpol sebagai demokrasi? Ada tiga alasan umum yang bisa memberi sugesti kepada kita semua bahwa parpol mungkin memiliki kelemahan tetapi diperlukan. Pertama, parpol adalah kendaraan utama bagi perwakilan politik. Kedua, parpol adalah mekanisme utama bagi pemerintahan. Ketiga, parpol adalah saluran utama untuk memelihara akuntabilitas demokrasi (Netherlands Institute for Multiparty Democracy, 2006). Tiga alasan ini tidak bisa digantikan oleh institusi manapun. Tidak juga oleh institusi masyarakat sipil dan gerakan-gerakan sosial besar yang kehadirannya mencoba menggantikan peran parpol. Ibarat orang belajar, tidak ada kata terlambat untuk parpol dan para aktivisnya untuk memperbaiki kinerjanya, utamanya mengelola kekuasaan dalam politik. Mengembalikan politik dalam arti sesungguhnya sebagai tindakan dan kebijakan yang tujuan akhirnya adalah kemaslahatan negara-bangsa Indonesia. Untuk itu, maka tugas pertama dan utama parpol dan para aktivisnya adalah melakukan reformasi internal player's partai, ada yang bisa kutitipkan sebagai bahasa kampungku ialah "ingatlah ini bukan ajang gengsi namun, jauh lebih penting dari sekedar memenangi pemilu". tapi....Mampukah?





More Opini
Kabar dari Philipina
Daeng Gajang
Kurang Gigitan....
alanobita
Koran Takalar? Bagus Juga tuh....
daeng Nuntung
pengen....
A.R.Dg.Parani
Selamat Buat Bupati Takalar Terpilih
Daeng Gajang
Ayo ramal Bupati Takalar terpilih
Daeng Gajang
DEMOKRASI DI KAMPUNGKU
OKTA WG
DIKOTOMI WAKIL PARPOL VS WAKIL RAKYAT
OKTA WG
Tikungan pertama atau tikungan terakhir?
Daeng Gajang
Takalar butuh bupati cerdas dan enerjik
Daeng Gajang
Untitled Document
    Copyright © 2007 by Team Info Takalar dan Yayasan Al-Muttahid. All Right Reserved
  Design and Develop by Irsyadi Siradjuddin
 

Warning: mysql_free_result(): 12 is not a valid MySQL result resource in /home/inforcom/public_html/opinidtl.php on line 271